--
A. Pengertian
Secara bahasa tahlil diartikan sebagai ucapan kalimat “laailaha illalloh”. Secara istilah adalah tradisi do’a bersama untuk mendo’akan orang yang telah meninggal atau karena hajat lain, dengan membaca Al Qur’an, kalimat tayyibah, istighfar, takbir, tahmid, tasbih, sholawat dan pahalanya diberikan kepada orang yang sudah meninggal atau orang yang punya hajat sesuatu.
Dalam acara tahlilan biasanya dibarengi dengan jamuan makanan dari keluarga yang sudah meninggal atau yang mempunyai hajat sebagai shodaqoh.
B. Dalil-dalil Tahlil
Banyak dalil Al Qur’an, hadits maupun keterangan ulama yang menjelaskan tentang diperbolehkannya tahlil dan do’a atau pahala yang ditujukan kepada orang yang sudah meninggal bisa sampai dan bermanfaat bagi orang yang meninggal tersebut, di antaranya:
1. QS. Muhammad ayat 19
وَ إسْتََغْفِرْ لِذَ نْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ (محمد:۱۹)
“Dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan”. (Muhammad:19)
Ayat tersebut menerangkan bahwa orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan mendapatkan manfaat dari istighfar orang mukmin lainnya. Dalam Tafsir Al-Khazin dijelaskan:
فِيْ مَعْنَي اْلَآيَةِ إِسْتَغْفِرْ لِذَ نْبِكَ أَيْ لِذًنُوْبِ أَهْلِ بَيْتِكَ ( وللمؤمنين والمؤمنات) يَعْنِيْ مِنْ غَيْرِ أَهْلِ بَيْتِكَ وَهَذَا إِكْرَامٌ مِنَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ لِهَذِهِ اْلأًمَّةِ حَيْثُ أَمَرَ نَبِيَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلمَ أَنْ يَسْتَغْفِرَلِذُنُوْبِهِمْ وَهُوَ الشَّفِيْعُ اْلمُجَابُ فِيْهِمْ(تفسير الخازن,ج: ۶,ص:۱۸۰)
“Makna ayat إستغفر لذنبكadalah mohonlah ampunan bagi dosa-dosa keluargamu dan orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan,a rtinya selain keluargamu. Ini adalah penghormatan dari Allah ‘Azza wa Jalla kepada umat Muhammad, dimana Dia memerintahkan Nabi-Nya untuk memohonkan ampun bagi dosa-dosa mereka, sedangkan Nabi SAW adalah orang yang dapat memberikan syafa’at dan do’anya diterima” (Tafsir Al-Khazin, Juz VI, hal 180)
2. QS. Al-Hasyr 10
وَالَّذِيْنَ جَاؤُا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَا اغْفِرْلَنَا وَلِإحْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِاْلإِيْمَانِ وَلاَ تَجْعَلْ فِيْ قُلُوْبِنَا غِلًا لِلَّذِيْنَ أَمَنُوْا رَبنَا إِنَّكَ رَؤوْفٌ رَحِيْمٌ ( الحسر:۱۰ )
“Dan orang-orang yang beriman, serta anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya”
Mengenai ayat ini Syekh ‘Alaudin Ali bin Muhammad bin Ibrahim Al-Baghdadi memberikan penjelasan:
يَعْنِيْ أَلْحَقْنَا إَوْلَادَهُمْ الصِّغَارَ وَاْلكِبَارَ بِإِيْمَا نِهِمْ وَاْلكِبَارُ بِإِيْمَا نِهِمْ بِأَنْفُسِهِمْ وَالصِّغَارُ بِإِيمَا نِ آبَائِهِمْ فَأِنَّ الوَلَدَ الصَّغِيْرَ يُحْكَمُ بِإِسْلَامِهِ تَبْعًا لِأَحَدِ أَبَوَيْهِ ( أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّاتِهِمْ ) يَعْنِيْ المُؤْمِنِيْنَ فِي اْلجَنَّةِ بِدَرَجَاتِ آبَائِهِمْ وَإِنْ لَمْ يَبْلُغُوْا بِاَعْمَالِهِمْ دَرَجَاتِ آبَائِهِمْ تَكْرِمَةً لِاَبَائِهِمْ لِتَقَرّ َاَعْيُنُهُمْ هَذِهِ رِوَايَةً عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ ( تفسير الخازن,ج:۶, ص: ۲۵۰)
“Artinya Kami menyamakan anak-anak mereka yang kecil dan yang dewasa dengan keimanan orang tua mereka. Yang dewasa dengan keimanan mereka sendiri, sementara yang kecil dengan keimanan orang tuanya. Keislaman seorang anak yang masih kecil diikutkan pada salah satu dari kedua orang tuanya. (Kami menyamakan kepada mereka keturunan mereka) artinya menyamakan orang-orang mukmin di surga sesuai dengan derajat orang tua mereka, meskipun amal-amal mereka tidak sampai pada derajat amal orang tua mereka. Hal itu sebagai penghormatan kepada orang tua mereka agar mereka senang. Keterangan ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA.” (Tafsir Al-Khazin, Juz VI, hal 250)
Penjelasan yang sama dapat dilihat dalam Tafsir Jami’ Al-Bayan karya Ibnu Jarir Al-Thabari Juz 28 hal. 15.
Beberapa ayat dan penafsiran tersebut menjadi bukti nyata bahwa orang yang beriman tidak hanya memperoleh pahala dari perbuatannya sendiri. Mereka juga dapat merasakan manfaat amaliyah orang lain.
A. Pengertian
Secara bahasa tahlil diartikan sebagai ucapan kalimat “laailaha illalloh”. Secara istilah adalah tradisi do’a bersama untuk mendo’akan orang yang telah meninggal atau karena hajat lain, dengan membaca Al Qur’an, kalimat tayyibah, istighfar, takbir, tahmid, tasbih, sholawat dan pahalanya diberikan kepada orang yang sudah meninggal atau orang yang punya hajat sesuatu.
Dalam acara tahlilan biasanya dibarengi dengan jamuan makanan dari keluarga yang sudah meninggal atau yang mempunyai hajat sebagai shodaqoh.
B. Dalil-dalil Tahlil
Banyak dalil Al Qur’an, hadits maupun keterangan ulama yang menjelaskan tentang diperbolehkannya tahlil dan do’a atau pahala yang ditujukan kepada orang yang sudah meninggal bisa sampai dan bermanfaat bagi orang yang meninggal tersebut, di antaranya:
1. QS. Muhammad ayat 19
وَ إسْتََغْفِرْ لِذَ نْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ (محمد:۱۹)
“Dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan”. (Muhammad:19)
Ayat tersebut menerangkan bahwa orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan mendapatkan manfaat dari istighfar orang mukmin lainnya. Dalam Tafsir Al-Khazin dijelaskan:
فِيْ مَعْنَي اْلَآيَةِ إِسْتَغْفِرْ لِذَ نْبِكَ أَيْ لِذًنُوْبِ أَهْلِ بَيْتِكَ ( وللمؤمنين والمؤمنات) يَعْنِيْ مِنْ غَيْرِ أَهْلِ بَيْتِكَ وَهَذَا إِكْرَامٌ مِنَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ لِهَذِهِ اْلأًمَّةِ حَيْثُ أَمَرَ نَبِيَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلمَ أَنْ يَسْتَغْفِرَلِذُنُوْبِهِمْ
“Makna ayat إستغفر لذنبكadalah mohonlah ampunan bagi dosa-dosa keluargamu dan orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan,a rtinya selain keluargamu. Ini adalah penghormatan dari Allah ‘Azza wa Jalla kepada umat Muhammad, dimana Dia memerintahkan Nabi-Nya untuk memohonkan ampun bagi dosa-dosa mereka, sedangkan Nabi SAW adalah orang yang dapat memberikan syafa’at dan do’anya diterima” (Tafsir Al-Khazin, Juz VI, hal 180)
2. QS. Al-Hasyr 10
وَالَّذِيْنَ جَاؤُا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَا اغْفِرْلَنَا وَلِإحْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِاْلإِيْمَانِ وَلاَ تَجْعَلْ فِيْ قُلُوْبِنَا غِلًا لِلَّذِيْنَ أَمَنُوْا رَبنَا إِنَّكَ رَؤوْفٌ رَحِيْمٌ ( الحسر:۱۰ )
“Dan orang-orang yang beriman, serta anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya”
Mengenai ayat ini Syekh ‘Alaudin Ali bin Muhammad bin Ibrahim Al-Baghdadi memberikan penjelasan:
يَعْنِيْ أَلْحَقْنَا إَوْلَادَهُمْ الصِّغَارَ وَاْلكِبَارَ بِإِيْمَا نِهِمْ وَاْلكِبَارُ بِإِيْمَا نِهِمْ بِأَنْفُسِهِمْ وَالصِّغَارُ بِإِيمَا نِ آبَائِهِمْ فَأِنَّ الوَلَدَ الصَّغِيْرَ يُحْكَمُ بِإِسْلَامِهِ تَبْعًا لِأَحَدِ أَبَوَيْهِ ( أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّاتِهِمْ ) يَعْنِيْ المُؤْمِنِيْنَ فِي اْلجَنَّةِ بِدَرَجَاتِ آبَائِهِمْ وَإِنْ لَمْ يَبْلُغُوْا بِاَعْمَالِهِمْ دَرَجَاتِ آبَائِهِمْ تَكْرِمَةً لِاَبَائِهِمْ لِتَقَرّ َاَعْيُنُهُمْ هَذِهِ رِوَايَةً عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ ( تفسير الخازن,ج:۶, ص: ۲۵۰)
“Artinya Kami menyamakan anak-anak mereka yang kecil dan yang dewasa dengan keimanan orang tua mereka. Yang dewasa dengan keimanan mereka sendiri, sementara yang kecil dengan keimanan orang tuanya. Keislaman seorang anak yang masih kecil diikutkan pada salah satu dari kedua orang tuanya. (Kami menyamakan kepada mereka keturunan mereka) artinya menyamakan orang-orang mukmin di surga sesuai dengan derajat orang tua mereka, meskipun amal-amal mereka tidak sampai pada derajat amal orang tua mereka. Hal itu sebagai penghormatan kepada orang tua mereka agar mereka senang. Keterangan ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA.” (Tafsir Al-Khazin, Juz VI, hal 250)
Penjelasan yang sama dapat dilihat dalam Tafsir Jami’ Al-Bayan karya Ibnu Jarir Al-Thabari Juz 28 hal. 15.
Beberapa ayat dan penafsiran tersebut menjadi bukti nyata bahwa orang yang beriman tidak hanya memperoleh pahala dari perbuatannya sendiri. Mereka juga dapat merasakan manfaat amaliyah orang lain.
Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad Al-Syaukani mengatakan bahwa hukum mengadakan pertemuan atau perkumpulan untuk membaca tahlil adalah boleh sebagaimana pendapatnya dalam kitab Al Rasa’il al Salafiyah.
ااَلْعَادَةُ اْلجَارِيَةُ فِي بَعْضِ اْلبُلْدَانِ مِنَ اْلإِجْتِمَاعِ فِي اْلمَسْجِدِ لِتِلاَوَةِ اْلقُرْأَنِ عَلَى اْلأَمْوَاتِ.وَكَذَالِكَ فِي اْلبُيُوْتِ وَسَا ئِرِ اْلإِجْتِمَاعَاتِ الَّتِي لَمْ تَرِدْ فِي الشَّرِيْعَةِ ,لاَشَكَّ إِنْ كَانَتْ خَالِيَةً عَنْ مَعْصِيَةٍ سَلِيْمَةٍ مِنَ اْلمُنْكَرَاتِ فَهِيَ جَائِزَةٌ لِاَءنَّ اْلإِجْتِمَاعَ لَيْسَ بِمُحَرَّمٍ بِنَفْسِهِ لاَسِيَمَا إِذَا كَا نَ لِتَحْصِيْلِ طَاعَةٍ كَالتِّلاَوَةِ وَنَحْوِهَا وَلاَ يُقْدَحُ فِي ذَلِكَ كَوْنُ تِلْكَ التِّلاَوَةِ مَجْعُوْلَةً لِلْمَيِّتِ فَقَدْ وَرَدَ جِنْسُ التِّلاَوَةِ مِنَ اْلجَمَاعَةِ اْلمُجْتَمِعِيْنَ كَمَافِي حَدِيْثِ إِقْرَؤُوْا “يَس” عَلَى مَوْتَاكُمْ وَهُوَ حَدِيْثٌ صَحِيْحٌ وَلاَ فَرَقَ بَيْنَ تِلاَوَةِ “يس” مِنَ اْلجَمَاعَةِ الحَاضِرِيْنَ عِنْدَ اْلمَيِّتِ أَوْ عَلَى قَبْرِهِ وَبَيْنَ تِلاَوَةِ جَمِيْعِ اْلقُرْآنِ أَوْ بَعْضِهِ لِمَيِّتٍ فِي مَسْجِدِهِ أَوْ بَيْتِهِ ( الرسائل السلفية: ۴۶)
“Kebiasaan di sebagian negara mengenai perkumpulan atau pertemuan di Masjid, rumah, di atas kubur, untuk membaca Al-Qur’an yang pahalanya dihadiahkan kepada orang yang telah meninggal dunia, tidak diragukan lagi hukumnya boleh (jaiz) jika didalamnya tidak terdapat kemaksiatan dan kemungkaran, meskipun tidak ada penjelasan (secara dzahir) dari syari’at. Kegiatan melaksanakan perkumpulan itu pada dasarnya bukanlah sesuatu yang haram (muharram fi nafsih), apalagi jika di dalamnya diisi dengan kegiatan yang dapat menghasilkan ibadah seperti membaca Al-Qur’an atau lainnya. Dan tidaklah tercela menghadiahkan pahala membaca Al-Qur’an atau lainnya kepada orang yang telah meninggal dunia. Bahkan ada beberapa jenis bacaan yang didasarkan pada hadits shahih seperti إقرؤوا “يس” على موتاكم (bacalah surat Yasin kepada orang mati di antara kamu). Tidak ada bedanya apakah pembacaan Surat Yasin tersebut dilakukan bersama-sama di dekat mayit atau di atas kuburannya, dan membaca Al-Qur’an secara keseluruhan atau sebagian, baik dilakukan di Masjid atau di rumah.” (Al-Rasa’il Al-Salafiyah, 46).
Kesimpulan al-Syaukani ini memang didukung oleh banyak hadits Nabi SAW. Diantaranya adalah:
عَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ اَلْخُدْرِيِّ قاَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُوْنَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا حَفَّتْهُمُ اْلمَلَائِكَةُ وَغَشِيَهُمُ الرَّحْمَةُ وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيْمَنْ عِنْدَهُ ( رواه مسلم, ۴۸۶۸)
“Dari Abi Sa’id al-Khudri RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah berkumpul suatu kaum sambil berdzikir kepada Allah SWT, kecuali mereka akan dikelilingi malaikat, dan Allah SWT akan memberikan rahmat-Nya kepada mereka, memberikan ketenangan hati dan memujinya di hadapan makhluk yang ada di sisi-Nya” (HR. Al-Muslim, 4868)
Kesimpulan Al Syaukani ini bersumber dari Hadits yang shahih:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ, قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِيْ بَيْتٍ مِنْ بُيُوْتِ اللهِ يَتْلُوْنَ كِتَابَ اللهِ وَيَتَدَرَسُوْنَهُ بَيْنَهُمْ إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ وَغَشِيَهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ اْلمَلَائِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيْمَنْ عِنْدَهُ ( سنن ابن ما جه : ۲۲۱)
“Dari Abi Hurairah RA ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah berkumpul suatu kaum di dalam salah satu rumah Allah SWT, sambil membaca Al-Qur’an bersama-sama, kecuali Allah SWT akan menurunkan kepada mereka ketenangan hati, meliputi mereka dengan rahmat, dikelilingi para malaikat, dan Allah SWT memujinya di hadapan makhluk yang ada di sisi-Nya” (Sunan Ibn Majah, 221)
Dalam hadits lain yang diriwayatkan dari Abi Sa’id Al-Khudri, Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ اَلْخُدْرِيِّ قاَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُوْنَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا حَفَّتْهُمُ اْلمَلَائِكَةُ وَغَشِيَهُمُ الرَّحْمَةُ وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيْمَنْ عِنْدَهُ ( رواه مسلم, ۴۸۶۸)
“Dari Abi Sa’id al-Khudri RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah berkumpul suatu kaum sambil berdzikir kepada Allah SWT, kecuali mereka akan dikelilingi malaikat, dan Allah SWT akan memberikan rahmat-Nya kepada mereka, memberikan ketenangan hati dan memujinya di hadapan makhluk yang ada di sisi-Nya” (HR. Al-Muslim, 4868)
Pada ulama juga sepakat bahwa pahala sampai dan bermanfaat bagi orang yang telah meninggal tersebut.
Ibnu Taimiyah menyatakan:
قَالَ شَيْخُ تَقِيُ الدِّيْنِ أَحْمَدُ بْنُ تَيْمِيَّةِ فِيْ فَتَاوِيْهِ, اَلصَّحِيْحُ أَنَّ اْلمَيِّتَ يَنْتَفِعُ بِجَمِيْعِ اْلعِبَادَاتِ اْلبَدَنِيَّةِ مِنَ الصَّلَاةِ وَالصَّوْمِ وَاْلقِرَاءَةِ كَمَا يَنْتَفِعُ بِااْلعِبَادَاتِ اْلمَالِيَّةِ مِنَ الصَّدَقَةِ وَنَحْوِهَا بِاتِّفَاقِ اْلأَئِمَّةِ وَكَمَا لَوْ دُعِيَ لَهُ وَاسْتُغْفِرَ لَهُ( حكم الشريعة الإسلامية في مأتم الأربعين:۳۶)
“Syaikhul Islam Taqiyuddin Ahmad bin Taymiyah dalam kitab Fatwanya berkata, “pendapat yang benar dan sesuai dengan kesepakatan para imam, bahwa mayit dapat memperoleh manfaat dari semua ibadah, baik ibadah badaniyah (ibadah fisik) seperti shalat, puasa, membaca Al-Qur’an, atau ibadah maliyah (ibadah materiil) seperti sedekah dan lain-lainnya. Hal yang sama juga berlaku untuk berdo’a dan membaca istighfar bagi mayit.” (Hukm Al-Syariah Al-Islamiyah fi Ma’tamil Arba’in, 36)
Dalam kitab Nihayah al-Zain disebutkan:
قَالَ ابْنُ حَجَرٍ نَقْلًا عَنْ شَرْحِ اْلمحُتْاَرِ:مَذْهَبَ أَهْلِ السُّنَّةِ أَنَّ لِلْإِنْسَانِ أَنْ يَجْعَلَ ثَوَابَ عَمَلِهِ وَصَلَاتِهِ لِلْمَيِّةِ وَيَصِلُهُ ( نهاية الزين: ۱۹۳)
“Ibnu Hajar dengan mengutip Syarh Al-Mukhtar berkata, “Madzhab Ahlussunnah berpendapat bahwa seseorang dapat menghadiahkan pahala amal dan do’anya kepada orang yang telah meninggal dunia. Dan pahalanya akan sampai kepadanya.” (Nihayah Al-Zain, 193)
Ibnu Al-Qayyim berpendapat:
قَالَ ابْنُ قَيِّمِ اْلجَوْزِيَّةِ فَأَفْضَلُ مَا يُهْدَى إِلَى اْلمَيِّتِ أَلْعِتْقُ وَالصَّدَقَةُ وَاْلإِسْتِغْفَارُ لَهُ وَاْلحَجُّ عَنْهُ وَأَمَا قِرَاءَةُ اْلقُرْآنِ وَإِهْدَاءُهَا لَهُ تَطَوُّعًا بِغَيْرِ أُجْرَةٍ فَهَذَا يَصِلُ إِلَيْهِ كَمَا يَصِلُ ثَوَابُ الصَّوْمِ وَالْحَجِّ (الروح:۱۴۲)
“Ibnu Qayyim Al-Jauziah berkata, “Sebaik-baik amal yang dihadiahkan kepada mayit adalah memerdekakan budak, sedekah, istighfar, do’a, dan haji. Adapun pahala membaca Al-Qur’an secara suka rela (tanpa mengambil upah) yang dihadiahkan kepada mayit, juga sampai kepadanya. Sebagaimana pahala puasa dan haji” (Al-Ruh, 142).
Dari beberapa dalil hadits, Al Qur’an, hadits dari keterangan para ulama di atas dapat disimpulkan bahwa hukum tahlilan bukanlah bid’ah dan pahala yang ditujukan kepada mayit bisa sampai dan bermanfaat bagi mereka.