--
Dalam kitab Tanwirul Qulub disebutkan:
فَلَمَّا كَثُرَ النَّاسُ فِيْ عَهْدِ عُثْمَانَ أَمَرَهُمُ بِأَذَانَانِ آخَرَ عَلَى الزَّوْرَآءِ وَاسْتَمَّرَ اْلأَمْرُ إِلَى زَمَنِنَا هَذَا.وَهَذَا اْلأَذَانُ لَيْسَ مِنَ اْلبِدْعَةِ لِأَنَّهُ فِي زَمَانِ اْلخُلَفَاءِ الرَّشِدِيْنَ لِقَوْلِهِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِاْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ ( تنويرالقلوب)
Ketika orang-orang sudah semakin banyak pada masa Khalifah Utsman, maka beliau memerintahkan untuk mengumandangkan adzan lagi di kota Madinah. Hal yang demikian itu (adzan dua kali) tetap berlangsung sampai sekarang. Adzan yang kedua tersebut tidak termasuk bid’ah karena telah terjadi di masa Khulafaur Rasyidin, sesuai dengan sabda Rasulullah SAW: “Kalian harus berpegang teguh dengan sunnah (ajaran)ku dan sunnah Khulafaur Rasyidin”.
Syekh Jalaluddin bin Abdil Ajiz berpendapat bahwa hukum mengumandangkan adzan yang kedua hukumnya sunat sebagaimana pendapatnya dalam kitab Fathul Mu’in:
وَأَذَانَانِ لِلْجُمْعَةِ أَحَدُهُمَا بَعْدَ صُعُوْدِ اْلخَطِيْبِ أَلْمِنْبَرَ وَاْلأَخَرُ اَلَّذِيْ قَبْلَهُ إِنَّمَا أَحْدَثَهُ عُثْمَانُ رضي الله عنه لَمَّا كَثُرَالنَّاسُ فَاسْتِحْبَابُهُ عِنْدَالْحَاجَةِكَأَنْ تَوَقَّفَ حُضُوْرُهُمْ عَلَيْهِ وَإِلَّا لَكَانَ اْلِإقْتِصَارُ عَلَى اْلِإتْبَاعِ أَفْضَلُ
“Begitu juga dihukumi sunat dua adzan dalam Jum’ah. Salah satunya sesudah khotib naik mimbar dan yang satunya lagi adzan sebelumnya, adzan kedua ini sebagai mana perintah sahabat ‘Ustman RA, dalam atsar kan tetapi hukum kesunatannya dikala hajat (butuh). Seperti jika orang-orang muslim belum hadir ke masjid setelah adzan pertama, jika tidak butuh maka lebih baik mengikuti (ittiba’) kepada Nabi (satu adzan)