skip to main |
skip to sidebar
---
بسم الله الرحمن الرحيم
Segala puji bagi Allah, Zat yang telah menunjukkan tanda-tanda kekuasaan dan hikmah dalam ciptaan-Nya. Shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada figur terbaik dalam memberikan nasihat dan sosok yang paling adil dalam menetapkan hukum, Nabi Muhammad saw., tuan para pendahulu dan generasi yang akan datang. Dan, semoga senantiasa tercurah kepada segenap keluarga dan para sahabat beliau.
BAB I : TANDA-TANDA ORANG YANG ARI
HARAPAN MENGECIL KETIKA DIHADAPKAN PADA KEGAGALAN
مِنْ عَلَامَاتِ الْاِعْتِمَادِ عَلىَ الْعَمَلِ نُقْصَانُ الرَّجَاءِ عِنْدَ وُجُوْدِالزَّلَلِ.
Salah satu tanda (orang yang banyak) berharap pada amalnya, berkurangnya kertergantungan saat menemui kegagalan
Tanda-tanda ketergantungan seorang amil (orang yang beramal) terhadap amalnya adalah berkurangnya harapan akan rahmat Allah ketika muncul kegagalan. Mafhumnya adalah besarnya harapan seseorang ketika melakukan amal dengan sebaik-baiknya, dan meninggalkan harapan itu ketika terjadi kegagalan. Ini merupakan hikmah yang sesuai dengan orang-orang arif yang bersaksi bahwa semua amal berasal dari Tuhan semesta alam, sebagaimana firman Allah SWT :
”Dan Allah menciptakan kamu dan amal-amalmu.” (Ash-Shâfât: 96)
Harapan mereka tidak terlalu berlebihan ketika melakukan amal shaleh, karena mereka tidak merasa beramal semata-mata karena diri mereka. Demikian juga, tidak berkurang harapan mereka akan rahmat Allah walaupun ketaatan mereka secara formal berkurang ataupun melakukan sebuah kegagalan. Hal ini karena mereka tenggelam dalam lautan ridha terhadap takdir Allah. Mereka berpegang pada qadha’ Tuhannya yang menciptakan sesuatu dan memilih apa saja yang Dia kehendaki, karena ridha terhadap qadha’ merupakan kewajiban bagi setiap kaum muslimin. Hanya saja yang tercela adalah apabila terlalu fatalis, dengan meninggalkan usaha sama sekali. Dalam sebuah syairnya, penulis berkata :
Dosa seseorang tidaklah menghalanginya dalam mengapai harapan-harapannya
Karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun atas segala dosa.
Sedangkan yang relevan bagi seorang sâlik (ahli ibadah bagi kalangan sufi) adalah merasa bahagia ketika melakukan amal shaleh dan merasa khawatir karena berkurangnya harapan ketika munculnya kegagalan.
Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Imam ad-Dardiri,
Kekhawatiran telah mendominasi seseorang dan mengalahkan harapan
Dan bergembiralah karena ketentuan Tuhanmu dengan tanpa berdiam diri
Allah SWT. menjadikan amal-amal shaleh sebagai sebab untuk mengangkat derajat seseorang di Hari Kiamat nanti, sedangkan amal-amal jelek menjadi sebab dilemparnya seseorang dalam neraka yang paling bawah.
Hal ini sebagaimana firman Allah SWT.,
”Adapun orang-orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar.” (Al-Lail: 5-10)
Maksud hikmah ini adalah memberikan motifasi agar salik (Penempuh Jalan Ilahi) mampu menumbuhkan semangatnya dalam beramal dan mengangkat cita-citanya, serta tidak bergantung pada siapa pun. Ia harus menyandarkan amalnya hanya kepada Allah SWT, sebagaimana diisyaratkan oleh Ibnu Al-Farid:
Berpeganglah pada kerendahan hawa nafsu, dan lepaskanlah rasa malu
Maka lepaslah jalan orang-orang yang ibadah, walaupun ia mengkilap
Syair ini mengingatkan, agar tidak tergantung dan hanya berpegang pada substansi amal seseorang walaupun itu amal yang mulia. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa amal seseorang sama sekali tidak mampu memasukkan seseorang ke surga, para sahabat bertanya, ”Demikian juga engkau wahai Rasulullah”, beliau menjawab, ”Demikian juga saya, kecuali jika Allah SWT melimpahkan karunia dan rahmatnya kepada saya.” Hadits ini dan ayat yang menyebutkan, ”Masuklah ke surga dengan amal yang telah kamu perbuat” dapat dikombinasikan bahwa amal seseorang tidaklah bermanfaat kecuali jika amal itu diterima dan diterimanya amal tersebut karena karunia dari Allah, sehingga benarlah bahwa masuknya seseorang ke surga hanya semata-mata karena karunia Allah. Amal perbuatan merupakan sebab zhahir yang masih bergantung pada ridha Allah SWT.
Dalam hal I’timad (menyandarkan diri), manusia terbagi menjadi 3 macam, yaitu :
1. Orang yang menyandarkan diri pada amal perbuatannya, biasanya orang yang seperti ini selalu berbuat sembrono dan tergesa-gesa. Ia selalu berusaha melakukan perbuatan yang menjadi sandarannya, dengan melihat dari lahiriahnya saja, dan orang yang seperti ini selalu berputar pikirannya antara amal dengan Roja’(pengharapan) dan Khouf(rasa takut gagal). ولتنظر نفس ما قد مت لغد “Dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuat untuk hari esok “. (QS. Al-Hasyr 18)
2. Orang yang menyandarkan diri pada rahmat dan karunia Alloh SWT., orang seperti ini memandang bahwa segala sesuatu yang ada adalah anugerah dan karunia dari Alloh, manusia tidak mempunyai kekuatan untuk mengelakkan diri dari bahaya kesalahan dan tiada kekuatan untuk berbuat amal kebajikan kecuali dengan pertolongan dan rahmat dari Alloh SWT. وما بكم من نعمة فمن الله ثم اذا مسكم الضر فاليه تجئرون “Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Alloh lah (datangnya), dan bila kamu ditimpa kemudhorotan, maka hanya kepada Nya kamu meminta pertolongan.” (QS. An-Nahl 53) Adapun cirri-ciri orang yang menyandarkan diri pada karunia Alloh adalah mengembalikan semua kepada Alloh. Pada saat bahagia ia memuji dan bersyukur kepada Alloh, dan pada saat susah ia introspeksi diri dengan merenungi kesalahannya dan selalu berdo’a kepada Alloh SWT.
3. Orang yang menyandarkan diri pada pembagian dan ketetapan yang telah ditentukan oleh Alloh SWT. orang seperti ini memandang sesuatu sebagai takdir Alloh,
قل الله ثم ذرهم فى خوضهم يلعبون “Katakanlah : Alloh lah (yang menurunkan Taurat), kemudian(sesudah kamu menyampaikan Al-Qur’an kepada mereka) biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatan.” (QS. An-An’am 91)
Adapun cirri-ciri orang seperti ini adalah selalu pasrah dan diam (menerima) terhadap terjadinya ketentuan (takdir) Alloh. Jadi Roja’ (pengharapan) nya tidak akan bertambah dan tidak pula berkurang dikarenakan suatu hal, jika ditimbang Roja’ (pengharapan) dan Khouf (perasaan takut) nya pasti imbang dalam setiap perbuatannya, orang seperti ini kelihatan selalu gembira padahal dalam hatinya juga ada rasa susah.